Category Archives: Islam

Catatan Lengkap Kesimpulan FKM atas Debat dengan Ulil

Forum Kiai Muda (FKM) NU menilai paham JIL cenderung membatalkan otoritas para ulama salaf. Namun mengajak menghadapi JIL dengan dialog

Di bawah ini pernyataan lengkap Forum Kiai Muda NU:

Kesimpulan Forum Tabayyun dan Dialog Terbuka
Antara Jaringan Islam Liberal dan Forum Kiai Muda (FKM) NU Jawa Timur
Di PP Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur
Ahad, 11 Oktober 2009

Dewasa ini sedang berlangsung perang terbuka dalam pemikiran (ghazwul fikri) pada tataran global. Melalui sejumlah kampanye dan agitasi pemikiran, seperti perang melawan terorisme dan promosi ide-ide liberalisme politik dan ekonomi neo-liberal, Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia berupaya menjinakkan ancaman kelompok-kelompok radikal, memanas-manasi pertikaian di antara kelompok radikal dan moderat dalam tubuh umat Islam, serta menyeret umat Islam dan bangsa ini ikut menjadi proyek liberal mereka.

Dengan memperhatikan perkembangan global tersebut, dan terdorong oleh kepentingan membela tradisi Ahlussunnah Waljamaah yang dianut oleh warga NU sebagai bagian dari identitas dan jati diri bangsa ini, Forum Kiai Muda Jawa Timur memberikan kesimpulan tentang hasil-hasil dialog dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) sebagai berikut:

1. Sdr. Ulil Abshar Abdalla dengan JIL-nya tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu (zhuruf), dan pesan sponsor yang tidak berakar dalam tradisi berpikir masyarakat bangsa ini.

2. Pada dasarnya pemikiran-pemikiran JIL bertujuan untuk membongkar kemapanan beragama dan bertradisi kaum Nahdliyin. Cara-cara membongkar kemapanan itu dilakukan dengan tiga cara: (1) Liberalisasi dalam bidang akidah; (2) Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran; dan, (3) Liberalisasi dalam bidang syariat dan akhlak.

3. Liberalisasi dalam bidang akidah yang diajarkan JIL, misalnya bahwa semua agama sama, dan tentang pluralisme, bertentangan dengan akidah Islam Ahlussunnah Waljamaah. Warga NU meyakini agama Islam sebagai agama yang paling benar, dengan tidak menafikan hubungan yang baik dengan penganut agama lainnya yang memandang agama mereka juga benar menurut mereka. Sementara ajaran pluralisme yang dimaksud JIL berlainan dengan pandangan ukhuwah wathaniyah yang dipegang NU yang mengokohkan solidaritas dengan saudara-saudara sebangsa. NU juga tidak menaruh toleransi terhadap pandangan-pandangan imperialis neo-liberalisme Amerika yang berkedok “pluralisme dan toleransi agama”.

4. Liberalisasi dalam bidang pemahaman al-Quran yang diajarkan JIL, misalnya al-Quran adalah produk budaya dan keotentikannya diragukan, tentu berseberangan dengan pandangan mayoritas umat Islam yang meyakini al-Quran itu firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan terjaga keasliannya.

5. Liberalisasi dalam bidang syari’ah dan akhlak di mana JIL mengatakan bahwa hukum Tuhan itu tidak ada, jelas bertolak belakang dengan ajaran Al Quran dan Sunnah yang mengandung ketentuan hukum bagi umat Islam. JIL juga mengabaikan sikap-sikap tawadhu’ dan akhlaqul karimah kepada para ulama dan kiai. JIL juga tidak menghargai tradisi pesantren sebagai modal sosial bangsa ini dalam mensejahterakan bangsa dan memperkuat Pancasila dan NKRI.

6. Ide-ide liberalisasi, kebebasan dan hak asasi manusia (HAM) yang diangkat oleh kelompok JIL dalam konteks NU dan pesantren tidak bisa dilepaskan dari Neo-Liberalisme yang berasal dari dunia kapitalisme, yang menghendaki agar para kiai dan komunitas pesantren tidak ikut campur dalam menggerakkan tradisinya sebagai kritik dan pembebasan dari penjajahan dan kerakusan kaum kapitalis yang menjarah sumber-sumber daya alam bangsa kita.

7. JIL cenderung membatalkan otoritas para ulama salaf dan menanamkan ketidakpercayaan kepada mereka, sementara di sisi lain mereka mengagumi pemikiran orientalis Barat dan murid-muridnya, seperti Huston Smith, John Shelby Spong, Nasr Hamid Abu Zaid, dan sebagainya.

8. Menghadapi pemikiran-pemikiran JIL tidak dilawan dengan amuk-amuk dan cara-cara kekerasan, tapi harus melalui pendekatan yang strategis dan taktis, dengan dialog-dialog dan pencerahan.

Forum Kiai Muda Jawa Timur,
Tulangan, Sidoarjo, 11 Oktober 2009

Forum Ulama Muda NU: Pemikiran JIL Membatalkan Otoritas Ulama Salaf

Ulama muda NU menggelar tabayyun dengan Ulil Abshar. Mereka berkesimpulan, pemikiran JIL membatalkan otoritas para ulama salaf dan khittah NU

Hidayatullah.com—Muktamar NU belum dimulai, namun suasana sudah mulai menghangat. Ahad (11/10) lalu, berlangsung diskusi seru antara kalangan muda Nahdhatul Ulama (NU) yang dikenal Forum Kiai Muda (FKM) NU dengan pentolan Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdala. Acara yang berlangsung di Pondok Pesantren Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo, Jawa Timur ini berlangsung hangat.

Dalam rilis yang diterima situs www.hidayatullah.com, forum diselenggarakan sebagai bentuk tabayyun kelompok muda NU yang selama ini hanya membaca pikiran Ulil Abshar dan kalangan JIL melalui media massa dan buku.

Dalam rilisnya, pihak FKM berkesimpulan, pemikiran Ulil dengan paham liberalnya tak memiliki landasan teori yang sistematis dan hanya plagiator.

“Sdr. Ulil Abshar Abdalla dengan JIL-nya tidak memiliki landasan teori yang sistematis dan argumentasi yang kuat. Pemikiran mereka lebih banyak berupa kutipan-kutipan ide-ide yang dicomot dari sana-sini, dan terkesan hanya sebagai pemikiran asal-asalan belaka (plagiator), yang tergantung musim dan waktu (zhuruf), dan pesan sponsor yang tidak berakar dalam tradisi berpikir masyarakat bangsa ini,” ujar FKM.

Karena itu, FKM juga menilai, pemikiran Ulil dengan paham liberalnya juga membahayakan tradisi NU dan akidah ahulussunnah wal jamaah.

“Pada dasarnya pemikiran-pemikiran JIL bertujuan untuk membongkar kemapanan beragama dan bertradisi kaum Nahdliyin,” tambahnya.

Melihat hasil tabayyun dengan pihak Ulil, dalam pernyataannya yang dikutis situs resmi PBNU, juru bicara Forum Kiai Muda (FKM) Jawa Timur KH Abdullah Syamsul Arifin (Gus A’ab) menyatakan, NU mempunyai garis-garis yang jelas.

Menurut Gus A’ab, pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) tidak bisa dikaitkan dengan NU, meskipun beberapa orang dari kelompok ini adalah anak NU, bahkan menantu salah seorang tokoh NU.

Ia menyatakan, keberadaan JIL sangat merisaukan warga NU, karena salah seorang pentolannya, Ulil Abshar-Abdalla adalah warga NU.

“Kalau Ulil sudah bukan NU, ya silakan mau berkata apa saja. Tidak masalah,” ungkapnya usai mengikuti debat terbuka dengan Ulil. [cha/fkm/nu/www.hidayatullah.com]

Mufti Mesir Meminta Ikhwan Beralih Menjadi Organisasi Sosial atau Partai Sekuler

Mufti Republik Mesir, Dr Ali Jam’ah meminta Jamaah Ikhwanul Muslimin untuk berubah, baik menjadi organisasi sosial dengan fokus pada berbagai kegiatan sosial, atau menjadi sebuah partai politik yang tidak berdasarkan agama (sekuler). Dia menegaskan bahwa kebanyakan rakyat Mesir melihat bahwa selama ini Jamaah Ikhwanul Muslimin senantiasa mengeksploitasi dan menggunakan agama untuk mencapai parlemen dan mempengaruhi berbagai asosiasi.

Jam’ah berkata di sela-sela sebuah seminar “Berbagai Tantangan Islam Moderat: Lembaga Keagamaan  Mesir Melawan Ekstremisme”, yang diselenggarakan oleh American Institute of Peace di Johns Hopkins University di Washington, bahwa di hadapan Ikhwanul Muslimin ada dua jalan: menjadi organisasi sosial dengan fokus pada berbagai kegiatan sosial, atau menjadi partai politik yang tidak berasaskan agama (sekuler).

Mufti itu menambahkan bahwa Ikhwanul Muslimin sebenarnya memiliki masalah internal, dan sebagian besar rakyat  Mesir tidak menyukai berdirinya partai politik berdasarkan agama. Mufti melanjutkan dengan mengatakan bahwa “Islam adalah dasar negara. Sehingga tidak boleh ada kelompok atau partai yang memonopolinya”.  Dia mengingatkan para peserta dengan sebuah pernyataan Imam Al-Ghazali yang telah bertanya-tanya sejak setengah abad yang lalu: Apakah mereka kelompok Islam atau kelompok di antara kaum Muslim?, dan Al-Ghazali menyimpulkan bahwa mereka itu adalah kelompok di antara kaum Muslim.

Mufti menunjukkan bahwa Jamaah Ikhwanul Muslimin melihat diri mereka sebagai Jamaah kaum Muslim, sehingga non-Muslim tidak diperkenankan bersama mereka. Jam’ah berkata, ketika menjawab pertanyaan mengenai reformasi di Mesir bahwa “reformasi adalah tujuan dari setiap orang di Mesir, tetapi dia menegaskan penolakan penuh terhadap seruan apa pun untuk reformasi yang berasal dari luar negeri.” Dikatakan bahwa ia bertujuan untuk menyebarkan moderasi, berjuang melawan ekstremisme, dan mengurangi jumlah kelompok ekstremis.

Dia mengatakan bahwa “Kami telah merehabilitasi hampir 16 ribu orang ekstrimis Mesir yang ditangkap setelah pembunuhan Presiden Sadat, dan tahun-tahun setelah insiden tersebut.” Dia mengingatkan bahwa mereka yang ditangkap hanya 80 saja yang telah menerima pendidikan agama. Mereka telah direhabilitasi dan telah kembali ke kehidupan publik setelah jangka waktu hanya sepuluh bulan. Sedangkan sisanya diklasifikasikan sesuai dengan tingkat ekstremismenya. Berbagai program rehabilitasi telah dijalankan antara tujuh hingga sembilan tahun. Kebanyakan dari mereka sebelumnya tidak lagi dalam kehidupan publik, tetapi sudah dikurangi tingkat ekstremismenya, dan mereka sudah bernada pada tingkatan yang lebih kecil di dalam lingkaran ekstremisme. Dia menegaskan bahwa dalam hal ini sunguh negara telah berhasil membuat para ekstremis melakukan pengurangan ini dengan usahanya sendiri. Dia menyatakan bahwa dia setuju pengurangan ini sebagai obat untuk pengobatan ekstremisme, dengan tujuan mengubah dari tingkat ekstremisme yang lebih tinggi ke tingkat ekstremisme yang lebih rendah.

Namun, kami tidak menerima jika hal ini dijadikan sebagai kurikulum pendidikan. Sebab, seperti yang dia katakan bahwa ini hanya untuk mengurangi racun yang menyerang tubuh pasien, bukan untuk membangun manusia. Dalam hal ini, Mufti juga menyerang Barat dan Amerika Serikat. Dia menyebutkan bahwa “negara-negara seperti Inggris yang membuka pintunya, dan menyimpan para teroris, bahkan membiarkan mereka untuk tampil di berbagai medianya, padahal mereka ini yang mengancam bagi keamanan Inggris sendiri.” Karena itulah, dalam hal ini kami punya alasan untuk menyalahkan Barat. (mediaumat.com)

Syaikh Al-Azhar Memaksa Mahasiswi Untuk Melepas Cadarnya Dan Berencana Melarangnya di Al-Azhar

MediaUmat- Grand Syaikh Al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi memaksa seorang mahasiswi bercadar semester II kelas persiapan agar melepas cadarnya, sebab menurutnya “itu hanya adat (kebiasaan), bukan ibadah”. Bahkan ini menegaskan niatnya untuk mengeluarkan keputusan resmi tentang larangan masuknya para perempuan bercadar di semua institut Al-Azhar.

Insiden itu terjadi pada saat Thanthawi melakukan inspeksi untuk mengetahui sejauh mana persiapan institut-institut Al-Azhar dalam mengatasi penyebaran virus flu babi. Ketika ia berada di institut Putri Ahmad Al-Libya di kota Nasr, tiba-tiba Thanthawi dikejutkan oleh seorang mahasiswi semester II kelas persiapan yang memakai cadar di dalam ruang kelas, sehingga hal itu menyebabkannya sangat emosi, dan ia pun meminta mahasiswi itu segera melepas cadarnya dengan mengatakan “cadar itu hanya sekedar adat (kebiasaan), tidak ada hubungannya dengan agama Islam, baik dari dekat atau jauh. Anda akan benar-benar dikucilkan dari teman-teman perempuan Anda jika Anda masih memakai cadar, paham?”, demikian menurut apa yang diberitakan oleh surat kabar “Al-Masry Al-Youm”, Senin 5/10/2009.

Mahasiswi tersebut tidak menemukan cara lain dalam menghadapi desakan Syaikh Al-Azhar yang memaksanya agar melepas cadar, selain menjalankan perintahnya. Dan setelah wajahnya terbuka, Tantawi berkomentar dengan mengatakan: “Mengapa Anda memakainya, jika Anda cantik, begini kan lebih baik?”.

Salah seorang dosen perempuan di institut tersebut mengatakan bahwa “mahasiswi itu selalu melepas cadarnya di dalam institut, karena yang ia hadapi di dalam institut semuanya perempuan, dan ia tidak memakainya kecuali ketika ada Syaikh Thanthawi dan para delegasi yang menyertainya masuk ke dalam ruang kelas.”

Akan tetapi Syaikh Al-Azhar meminta gadis itu untuk tidak mengenakan cadar lagi sepanjang hidupnya. Gadis itu berkata bahwa ia akan tetap memakainya hingga tidak seorang pun yang melihatnya. Mendengar itu, maka dengan emosi Thanthawi berkata: “Telah aku katakan kepada Anda bahwa cadar itu tidak ada hubungannya dengan Islam, dan itu hanyalah  kebiasaan. Ingat! Aku jauh lebih mengerti agama dari pada Anda dan orang-orang di belakang Anda.”

Seketika itu, Thanthawi mengumumkan niatnya untuk mengeluarkan keputusan resmi yang berisi larangan memakai cadar di semua institut Al-Azhar, dan melarang masuknya setiap mahasiswi dan dosen perempuan yang mengenakan “cadar”.

Thanthawi juga melakukan tur inspeksi ke semua komplek institut dan para mahasiswi semester VI. Dan selama tur inspeksinya ini, Thanthawi selalu menekankan pentingnya menyisipkan instruksi khusus dalam menghadapi virus flu di tempat-tempat terbuka pada semua institut Al-Azhar, dan memperhatikan setiap kamar agar selalu terjaga kesehatan dan kebersihannya, begitu juga dengan semua ruang belajar dan toilet, dan ia menekankan agar jumlah mahasiswanya tidak melampaui ketentuan yang diizinkan. (www.alarabiya.net, 5/10/2009)

BERHARAP PADA DPR BARU?

Negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini kembali disuguhi oleh salah satu peristiwa cukup besar sekaligus mewah: Pelantikan Anggota DPR Terpilih Periode 2009-2014. Pelantikan yang dikawal tidak kurang oleh 3000-an pasukan keamanan ini dikatakan peristiwa besar karena para anggota DPR baru tersebut selama lima tahun ke depan akan turut ‘menentukan nasib’ jutaan rakyat negeri ini. Pasalnya, sebagaimana sebelumnya, melalui tangan para anggota DPR-lah sejumlah produk UU yang mengatur seluruh kehidupan rakyat bakal lahir. Pelantikan ini juga sekaligus mewah karena menelan biaya sekitar Rp 11 miliar hanya untuk acara sekitar dua jam saja. Jumlah sebesar itu baru anggaran dari KPU. Padahal, sebagaimana lima tahun sebelumnya, acara pelantikan tersebut lebih bersifat seremonial belaka. Adapun dari DPR sendiri, Setjen DPR telah menganggarkan Rp 26 miliar atau sekitar Rp 46,5 juta peranggota untuk biaya pindah tugas (tiket keluarga anggota Dewan dan biaya pengepakan) bagi anggota baru terpilih dari luar Jakarta. Hal itu didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 7/KMK.02/2003 (Kompas.com, 9/9/2009).

Berharap pada DPR Baru?

Sekitar 70% anggota DPR Periode 2009-2014 memang benar-benar baru. Namun, sesuai dengan hasil Pemilu 2009 lalu, keanggotaan DPR baru itu tetap didominasi oleh partai-partai lama yang notabene sekular. Berdasarkan validasi terakhir KPU, perolehan kursi tiap parpol di DPR adalah: Partai Demokrat 150, Partai Golkar 107, PDIP 95, PKS 57, PAN 43, PPP 37, PKB 27, Gerindra 26, Hanura 18 (Mediacenter.kpu.go.id, 14/5/2009).

Dengan keanggotaan yang mayoritas berasal dari parpol-parpol sekular, kaum Muslim yang mayoritas di negeri ini tentu tidak banyak berharap bahwa DPR baru ini akan berpihak kepada mereka. Pasalnya, meski banyak anggota baru, visi dan misi mereka tetaplah sama dengan partainya, yakni sekular. Karena itu, jangan berharap, misalnya, DPR baru akan banyak menerbitkan UU yang sesuai dengan syariah, meloloskan peraturan yang melarang aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah, dll. Yang terjadi, mereka akan banyak memproduksi UU sekular yang notabene bertentangan dengan syariah.

Selain itu, secara umum rakyat pun pantas untuk pesimis. Pasalnya, kualitas anggota DPR yang baru diperkirakan menurun. Ini karena pada Pemilu Legislatif lalu, dengan mekanisme suara terbanyak, banyak anggota DPR terpilih lebih karena faktor popularitas semata. Wajar jika kalangan artis/selebritis, misalnya, bisa dengan mudah mengalahkan caleg dari kalangan politisi kawakan yang tentu saja kalah populer.

Untuk menilai kualitas para anggota DPR baru, kinerja para anggota DPR lama bisa dijadikan acuan. Sebagai perbandingan, Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menilai kinerja Legislatif periode 2004-2009 masih buruk. Hal ini terlihat antara lain dari efektivitas pembuatan undang-undang serta komitmen untuk pemberantasan korupsi. “Kami menilai rapor DPR dengan nilai D, yang artinya masih buruk,” kata peneliti dari Pukat Korupsi Hifdzil Alim di Yogyakarta, Selasa (30/6).

Menurut dia, beberapa UU yang dihasilkan DPR juga memiliki substansi buruk, misalnya UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No.4 Tahun 2009) karena memberlakukan kontrak karya hingga berakhir dan UU Badan Hukum Pendidikan (UU No.9 Tahun 2009) karena memasukkan konsep perusahaan ke dalam konsep penyelenggaraan pendidikan.

Di sisi lain, Direktur Pukat Korupsi Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa lembaga legislatif telah mati rasa. “Banyak UU yang ditolak oleh masyarakat, tetapi tetap diteruskan oleh DPR. Ini aneh, karena seharusnya dewan adalah wakil dari rakyat,” katanya (Matanews, 30/6/2009).

Dengan kualitas DPR yang buruk tersebut, wajar jika sejumlah survei menunjukkan tingginya kekecewaan masyarakat terhadap lembaga ini. Tingginya kekecewaan ini sangat beralasan. Pasalnya, banyak produk UU yang dihasilkan DPR tidak memihak rakyat yang berada di tengah himpitan dan beban hidup yang semakin sulit dan berkepanjangan. Perundang-undangan tersebut di antaranya UU Migas, UU Penanaman Modal, UU SDA, UU BHP, UU Minerba, dll. yang akan menimbulkan kehancuran perekonomian nasional dan lingkungan serta meningkatkan kemiskinan, pengangguran, kebodohan, kelaparan rakyat di negeri yang kaya ini.

DPR: Wakil Siapa?

Melihat ‘track-record’ DPR yang jelas-jelas buruk dalam melegislasi/mengesahkan sejumlah UU, sebagaimana dicontohkan di atas, kita tentu semakin khawatir bahwa sejumlah RUU yang masuk dalam Prolegnas 2009-2014 pun akan tetap mengenyampingkan kepentingan rakyat dan lebih memihak kepentingan mereka yang punya uang. Pasalnya, tidak dipungkiri, ‘aroma uang’ hampir selalu mewarnai setiap pembahasan RUU di DPR. Beberapa produk UU seperti UU Migas, UU SDA dan UU Penanaman Modal, misalnya, diduga kuat didanai oleh sejumlah lembaga asing seperti World Bank. Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development) “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.”

Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000” (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html).

Berdasarkan UU Migas No 22 tahun 2001 ini, pemain asing boleh masuk sebebasnya dari hulu sampai hilir. Saat ini, menurut DR. Hendri Saparini, lebih dari 90% dari 120 kontrak production sharing kita dikuasai korporasi asing. Dari sekitar satu juta barel perhari Pertamina hanya memproduksi sekitar 109 ribu barel, sedikit di atas Medco 75 ribu barel. Sebaliknya, produksi terbesar adalah Chevron sekitar 450 ribu barel perhari. Berdasarkan UU Migas yang radikal itu pula, pada 2004 sebanyak 105 perusahaan swasta mendapat izin untuk merambah sektor hilir migas; termasuk membuka SPBU (Trust, edisi 11/2004).

Campur tangan asing dalam pembuatan UU tak hanya di sektor migas (minyak dan gas), tetapi juga di sektor lainnya. RUU Kelistrikan, misalnya, dibuatkan Bank Dunia. RUU BUMN dibuatkan oleh Price Waterhouse Coopers. RUU SDA, RUU Maritim, RUU BHP dan regulasi mengenai hajat hidup rakyat juga tak lepas dari intervensi asing. Bahkan khusus terkait dengan yang terakhir, yakni RUU BHP, menurut Darwis SN, pemerhati kebijakan publik, yang juga alumnus University of Adelaide Australia, draft-nya sebenarnya telah dirancang sejak pertemuan “World Declaration on Higher Education for the Twenty-First Century: Vision and Action” di Paris tahun 1998 yang disponsori UNESCO. Ini merupakan salah satu konsekuensi dari General Agreement on Trade in Services (GATS) WTO yang meliberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat. Bersama Amerika dan Inggris, Australia memang paling getol mendesakkan liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Pasalnya, sejak tahun 1980-an, mereka mendapatkan keuntungan paling besar dari liberalisasi jasa pendidikan (Ender dan Fulton, Eds, 2002). Pada tahun 2000 saja, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp 126 triliun.

Di bidang penanaman modal, pihak asing juga dibiarkan mengambil-alih perusahaan-perusaahan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti BUMN. Dengan UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, pemain asing dan pemain lokal dibiarkan bebas berkompetisi di Indonesia. Pasal 7 ayat 1 dan 2 malah menghalangi “nasionalisasi” dengan berbagai aturan yang menyulitkan dan merugikan negara sendiri. Yang terjadi justru internasionalisasi BUMN. Tahun 2008, Komite Privatisasi memutuskan untuk memprivatisasi (melego) 34 BUMN dan melanjutkan privatisasi 3 BUMN yang tertunda tahun sebelumnya (Bisnis Indonesia, 5/2/2008).

Di sektor perbankan, ada UU Perbangkan. Melalui pasal 22 ayat 1b UU Perbankan ini, warga negara dan badan hukum asing bebas untuk bermitra dengan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia mendirikan Bank Umum. Pihak asing pun bisa memiliki hingga 99% saham bank di Indonesia. Saat ini 6 dari 10 perbankan terbesar di Indonesia kepemilikan mayoritasnya dikuasai asing.

Dengan semua kenyataan di atas, tentu tidak salah jika Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengungkapkan, tidak ada produk hukum yang lahir dari (baca: demi) kepentingan masyarakat murni (Jabarnews.com, 11/6/2009).

Jika banyak UU tidak ditujukan demi kepentingan rakyat, lalu DPR itu wakil siapa? Karena itu, DPR sebagai wakil rakyat itu hanyalah klaim.

Kembalikan Kedaulatan Syariah!

Harus disadari, masalah pokok yang menimpa umat Islam saat ini di dunia, termasuk Indonesia, sesungguhnya berpangkal pada tidak hadirnya kedaulatan Asy-Syâri’—Allah SWT—di tengah-tengah kehidupan mereka. Yang bercokol selama puluhan tahun justru ‘kedaulatan rakyat’ yang semu. Pasalnya, di DPR selalu yang duduk adalah segelintir orang yang sering justru tidak memihak rakyat, tetapi lebih sering memihak pengusaha, para pemilik modal dan bahkan kekuatan asing. Rakyat malah sering hanya dijadikan ‘sapi perahan’ oleh para wakilnya di DPR. UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU BHP dll yang dihasilkan oleh DPR pada faktanya lebih ditujukan untuk memenuhi kehendak para pemilik modal dan kekuatan asing. Rakyat sendiri tidak tahu-menahu duduk persoalannya.

Semua itu tidak lain sebagai akibat tidak tegaknya kedaulatan syariah akibat disingkirkannya al-Quran sebagai pedoman hidup. Mahabenar Allah Yang berfirman:

]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit (QS Thaha [20]: 124).

Menegakkan kedaulatan syariah adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi kaum Muslim. Satu-satunya lembaga yang mampu mewujudkan kedaulatan syariah itu hanyalah Daulah Islam seperti zaman Nabi saw., atau yang kemudian dikenal setelah Nabi wafat sebagai Khilafah, yakni Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah (yang tegak berdiri di atas manhaj Nabi saw.). Inilah yang telah dibuktikan oleh sejarah Kekhilafahan Islam selama berabad-abad.

Inilah jalan baru yang dibutuhkan oleh dunia, termasuk Indonesia saat ini. Jalan inilah yang akan mengubah wajah dunia (termasuk negeri ini) yang didominasi oleh kezaliman menjadi wajah dunia yang adil dan makmur. Kini jalan baru itu telah diemban oleh jutaan umat Islam dan berkembang di lebih dari 40 negara.

Hizbut Tahrir bersama umat Islam di seluruh dunia kini siap menyongsong kabar gembira, yakni dengan kembalinya Khilafah ’ala minhaj an-Nubuwwah. Allah SWT berfirman:

]مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا[

Siapa saja yang menghendaki kemuliaan, maka kemuliaan itu semuanya hanyalah milik Allah (QS Fathir [35]: 10).

Penguasa Barat Menjilati Ludah Demokrasi Mereka Demi Mendukung Entitas Monster Yahudi

Meskipun selama ini Barat mengklaim bahwa mereka adalah bangsa yang paling menghargai hak asasi manusia, keadilan, dan konsep-konsep yang disebut demokrasi, serta paling menghormati perundang-undangan; dan meskipun selama ini Barat gemar mempertanyakan tentang transparansi, penghormatan terhadap perundang-undangan, dan pemberantasan korupsi, ketika mereka berbicara tentang negara Islam. Namun fakta justru menunjukkan hal lain, bahwa semua klaim ini hanyalah sebuah topeng yang dikenakan oleh para politisi dan pembuat kebijakan Barat ketika mereka menginginkannya, dan mereka pun melepaskannya ketika hal itu berbenturan dengan kepentingannya, termasuk dukungan terhadap entitas Yahudi.

Terkait hal ini, sungguh beberapa media, di antaranya “Asharq Al-Awsat” memberitakan tentang kegemaran Barat melakukan pembantaian terhadap kaum perempuan dan anak-anak, di antara warga Palestina. Sehingga, Menteri Pertahanan entitas monster Yahudi, Ehud Barak mengatakan bahwa ia memeliki kekebalan diplomatik dan tidak terpengaruh oleh pengadilan. Hal itu disampaikan ketika mengomentari dakwaan yang diajukan kepadanya di pengadilan Inggris bahwa ia telah melakukan pembantaian terhadap rakyat Palestina. Bahkan, dikatakan oleh beberapa sumber tentang keterlibatan Departemen Luar Negeri Inggris untuk melindungi Barak dengan mengubah status kujungan, yaitu dari kunjungan pribadi menjadi kunjungan dengan kekebalan diplomatik.

Tentu sang penjahat ini tidak mungkin berbicara dengan cara seperti itu, kecuali ia tahu bahwa para penguasa Barat yang menciptakan entitas Yahudi, dan yang memberinya bantuan kekuatan tidak akan mampu untuk tidak melanggar perundang-undangan mereka jika bersentuhan dengan para pemimpin entitas monster ini.

Dan di antara contoh yang telanjang dalam hal ini adalah apa yang dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Spanyol, Miguel Angel Moratinos bahwa Spanyol akan mengubah undang-undangnya agar negara tidak melakukan penangkapan terhadap mantan Menteri Pertahanan di dalam entitas Yahudi, Benjamin Ben-Eliezer, yang dituduh telah melakukan pembunuhan dan pembantaian dengan membombandir rumah asy-syahid Shalah Syahadah di kota Gaza beberapa tahun lalu.

Sesungguhnya, pengadilan-pengadilan seperti ini, yang dilakukan oleh Barat, terutama Eropa, hanyalah penyesatan atas pembunuhan yang dihadapi oleh rakyat Palestina, bahkan memalingkan mereka dari solusi yang tepat untuk membalas darah mereka yang tertumpah. Sebelumnya, Mahkamah Internasional di Den Haag telah mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa dinding pemisah adalah dinding ilegal. Namun, apa yang terjadi, ternyata itu hanya untuk menghabiskan dinding hijau dan kering dari rumah-rumah dan tanah-tanah milik warga di Tepi Barat, dan keputusan pengadilan seperti ini pergi begitu saja dengan sia-sia.

Akan tetapi, ketika orang-orang Eropa memutuskan untuk mempermalukan Amerika Serikat dan anteknya di Sudan, al-Bashir, maka keputusan pengadilan tersebut telah mengambil dimensi internasional, bahkan sampai pada langkah pelaksanaan dengan mengeluarkan keputusan untuk menangkapnya.

Namun dalam hal ini, siapa saja yang merharap kebaikan dari orang kafir Barat, maka ia seperti berharap mendapat cahaya dari kegelapan. Dan sesungguhnya mencari perlindungan dan keadilan pada pengadilan dan undang-undang bermerkuri ini, maka itu hanyalah perbuatan untuk menyesatkan rakyat Palestina dan umat Islam secara umum. Dengan ini, seakan-akan rahmat itu bersarang di hati orang-orang yang tidak memelihara hubungan kekerabatan dengan orang-orang mukmin, dan tidak pula mengindahkan perjanjian, sedang mereka adalah orang-orang yang selama ini memerangi Islam dan kaum Muslim di mana-mana dengan berbagai dalih.

Sesungguhnya untuk mengisas (memberi hukuman yang setimpal) para penjahat seperti mereka ini akan berlangsung cepat dan kuat, dengan izin Allah, ketika telah berdiri Khilafah Rasyidah yang kedua. (pal.tahrir.info, 4/10/2009)

Negara Yahudi Skeptis Dengan Sikap AS Terhadap Iran

Jelas bahwa sikap AS terhadap masalah nuklir Iran tidak sekeras sikap dua negara, yaitu Inggris dan Perancis, apalagi dibanding dengan sikap negara Yahudi, yang melakukan peran sebagai provokator terdepan agar melancarkan serangan terhadap Iran.

Presiden negara Yahudi, Shimon Peres dan Perdana Menterinya, Benjamin Netanyahu tidak pernah berbicara dengan para diplomat Barat, Rusia, dan negara-negara lain, selain membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan program nuklir Iran, serta sejauh mana bahayanya, yang tidak hanya mengancam entitas Yahudi saja, namun juga semua negara-negara di dunia.

Pada periode terakhir ini, sungguh kebijakan negara Yahudi telah berubah menjadi kebijakan melawan Iran, lebih spesifik lagi terhadap program nuklirnya. Sehingga ia membatasi hanya dalam konteks ini saja. Ia tidak lagi memperhatikan masalah Palestina dan masalah-masalah lainnya. Oleh karena itu, semua perhatiannya difokuskan pada bagaimana menghilangkan kemampuan nuklir Iran.

Sungguh tampak sekali pada bebebrapa pertemuan para pemimpin senior di sela-sela pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini tentang adanya konsensus yang luar biasa kompaknya antara Inggris dan Perancis dengan sikap negara Yahudi terkait masalah nuklir Iran. Sementara sikap AS berbeda dari sikap negara-negara tersebut, di mana AS tidak begitu menunjukkan sikap bermusuhan terhadap Iran.

Barangkali inilah yang menjadikan seorang pakar Yahudi, Pinhas Anbari mengungkapkan dengan detail tentang keraguan negaranya terhadap sikap Amerika Serikat terkait program nuklir Iran. Ia mengatakan: “Sesungguhnya sikap resmi yang diadopsi oleh badan intelijen AS masih terbatas pada bahwa Iran tidak memiliki program nuklir untuk tujuan militer. Sehingga hal ini melahirkan sangkaan bahwa ada keraguan mengenai kesungguhan dan keseriusan Amerika dalam menangani masalah nuklir Iran.”

Anbari menyatakan tentang perbedaan antara sikap Amerika dengan sikap Perancis dan Inggris. Ia berkata: “Dalam hal ini tampak dengan jelas perbedaan mengenai sikap Presiden Barack Obama di satu sisi, dan sikap Presiden Perancis, Nicolas Sarkozy dan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown di sisi lain. Di mana masing-masing, baik Sarkozy maupun Brown berbicara tentang ancaman Iran, dan manuver-manuver yang dilakukan Teheran yang bertujuan untuk menyesatkan semua orang. Sementara pada saat yang sama, Presiden Obama berbicara tentang kemungkinan untuk mencapai kesepahaman dengan Iran atau kesepakatan untuk terlibat dalam dialog dengannya.” Anbari menambahkan: “Sungguh dengan ini tampak bahwa Obama tidak memiliki keinginan apapun untuk meningkatkan tekanan terhadap Iran, atau mengenai keputusan untuk melancarkan serangan terhadap Iran.”

Sesungguhnya ketakutan dan kekhawatiran yang menghantui para pakar dan pembuat keputusan di negara Yahudi ini telah membuat mereka menerima untuk pertama kalinya sejak lebih dari lima tahun, Kepala Staf Angkatan Darat Inggris, dan bersamanya mereka membahas cara untuk menyerang Iran tanpa koordinasi dengan Amerika. Bahkan ketakutan dan kekhawatiran ini telah membuat mereka berangkat ke London, dan mengadakan pertemuan dengan direktur intelijen Inggris MI6, untuk pembahasan yang sama tanpa sepengetahuan Amerika.

Namun, negara Yahudi dan Inggris yang bersamanya tidak dapat melakukan tindakan apapun sendirian tanpa dukungan sikap dari Amerika. Mengingat, hak veto AS tetap menentukan dan mendominasi setiap keputusan yang akan diambil oleh negara Yahudi atau negara-negara besar Eropa, seperti Perancis atau Inggris, khususnya terkait masalah nuklir Iran. (Ahmad al-Khuthwani: al-aqsa.org, 3/10/2009)