Part 2

“Sesungguhnya beruntunglah orang – orang yang beriman, (yaitu) orang – orang yang khusyu’ dalam sholatnya, dan orang – orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang melalaikan”
Al Mu’minuun : 1 – 3
Maka sebaik – baiknya definisi realistis harusnya adalah bicara apa adanya, katakanlah yang benar sekalipun itu menyakitkan. Katakanlah bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Tanpa harus mencari dalil untuk di cocok – cocokkan. Tanpa harus mengelabui kebodohan dengan pembodohan demi pembodohan selanjutnya.
REALISTIS ATAU PRAGMATIS?
Ambillah cerita menarik ini, suatu ketika di sebuah Mabit seorang mad’u muda bertanya tentang alasan kenapa sosok Presiden Suharto harus di masukkan menjadi bagian dari Pahlawan Indonesia. Maka di keluarkanlah dalil Hudaibiyah oleh Si Pembicara Mabit. Katanya ” Rasulullah saja mau mengalah”. Bahkan dalam kasus yang lain ada juga ustad yang bicara ” Coba antum lihat bagaimana Umar Bin Khatab Ra patuh pada keputusan syuro di kisah perjanjian Hudaibiyah”.
Dari kisah ini, kita bisa belajar membedakan antara definisi realistis dengan definisi pragmatisme dakwah. Orang -orang yang realistis Insya Allah bisa memahami bahwa kondisi keputusan ‘gencatan senjata’ di Hudaibiyah bukan berdasarkan sebuah hasil Syuro atau musyawarah. Namun keputusan Rasulullah Saw untuk menahan diri dan menghindari pertumpahan darah dengan kaum musyrikin bukan karena sebuah hasil syuro manusia, namun lebih kepada keputusan seorang Mulia bernama Rasulullah Saw yang setiap keputusannya selalu bersinergi dengan wahyu – wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt.
“Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan RasulNya dengan orang -orang musyrik, kecuali dengan orang – orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka)di dekat masjidil Haram (hudaibiyah), maka selama mereka berlaku jujur kepadamu hendaklah kamu berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh Allah menyukai orang -orang yang bertakwa” At Taubah : 7
Jadi sikap realistis terhadap perjanjian hudaibiyah jelas berbeda dengan konsep ‘rekonsiliasi terhadap tirani soehartoisme’. Ini salah satu contoh bagaimana seharusnya kita membaca jelaga dari gejala. Ada beberapa kasus yang jika secara detail kita telusuri makna – makna Hudaibiyah memiliki ‘kelas tersendiri’ yang tidak bisa di cocok – cocokkan dengan fakta untuk dijadikan dalil manuver politik pragmatis sebuah partai politik berlabel dakwah dan Islam. Karena setiap orang yang menggunakan dalil Al Quran dan As Sunnah harus memperhatikan kaidah penggunaan dalil, yaitu salah satunya hukum As Sunnah tidak boleh bertentangan dengan dalil Al Quran. Kita tidak bisa menggunakan sebuah hadist sebagai hujjah jika ia bertentangan dengan Al Qur’an. Jika Al Quran sudah menjelaskan dengan tegas bahwa :
“Dan Sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat – ayat Allah di ingkari dan diperolok -olokkan (oleh orang – orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka, sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang -orang munafik dan orang -orang kafir di dalam Jahannam” An Nisa : 140
Perhatikan sinkronisasi surat At Taubah ayat 7 yang berkata ‘selama mereka berlaku jujur’ dengan surat An Nisa : 140 dimana Allah mengharamkan kita jangankan bekerja sama, duduk bersama dengan orang – orang yang mengingkari dan mengolok – olok ayat Allah saja tidak boleh!
Inilah indahnya Islam, setiap muslim atau setiap mujahidin diharamkan melakukan aniaya, pendzoliman dan bersikap tidak adil terhadap mereka para kafir yang tidak memerangi islam ( tidak mengolok olokkan) Syariat Allah. Mereka di golongkan ke dalam Kafir Dzimmi, Rasulullah SAW bahkan dengan tegas akan menghukum umat Islam yang mengganggu kehidupan komunitas kafir dzimmi pada masanya. Hingga di dapati bahwa para kafir dzimmi itu melakukan olok – olokkan terhadap ayat Allah Swt, melakukan usaha pemurtadan terhadap kaum muslimin, maka sungguh mereka telah termasuk Kafir Harbi (kafir yang memerangi Islam), maka mereka wajib di perangi.

“Orang – orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka, katakanlah : ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” Al Baqoroh : 120
Tinggal kita kaji fakta – fakta di dalam demokrasi, benarkah di dalam institusi Pancasila semua elemen adalah orang – orang jujur (menghargai Syariat Allah Swt)?, benarkah di dalam DPR semua komponen adalah orang -orang yang beriman kepada Allah Swt dan Rasulullah SAW?, Benarkah di dalam Konstitusi negeri thagut ini para pemimpin tidak hanya menempatkan Syariat Islam hanya di KTP semata? Dan yang paling penting Syariat Islam tidak ditegakkan menunggu mayoritas masyarakat memintanya di tegakkan, ia di tegakkan karena mutlak kewajiban dari Allah Swt bagi setiap muslim menegakkannya, dengan atau tanpa suara terbanyak di situ.
APAKAH DEWAN SYURO ANDA SEKELAS ALI BIN ABU THALIB RA?
Jadi jelas pada perjanjian hudaibiyah ‘bersabarnya’ Rasulullah Saw untuk melakukan perjanjian damai dengan kaum musyrikin adalah karena tuntunan dari skenario Allah Swt untuk memberi pelajaran kepada umat Islam sendiri juga para musyrikin,

Tinggalkan komentar